Tusuk Sate : Berawal dari Home Industri
Bergabung menjadi anggota perajin
tusuk sate yang dirintis Hadi memang tergolong unik. Warga yang membutuhkan
pekerjaan dapat dengan mudah mendapatkan penghasilan. Tidak perlu biaya. Bahkan
untuk mendapatkan peralatan pemilah tusuk sate senilai Rp 80 ribu itu, warga
juga tidak perlu membayar. Semua bahan baku bisa didapatkan dari Hadi.
Sedangkan hasilnya juga akan dibeli. Praktis, yang dibutuhkan hanya keseriusan
untuk mendapatkan pekerjaan.
Menjadi perajin tusuk sate hanya perlu pernyataan keseriusan. Begitu ada pernyataan keseriusan, tidak berselang lama peralatan pun akan segera dikirim. Tentunya dengan jaminan peralatan tersebut tidak dijual serta hasil pembuatan tusuk sate itu dijual kembali kepada Hadi. "Silakan saja dijual ke orang lain. Tapi, tidak ada jaminan bakal berlangsung lama," ujar ketua P4KB (Perlindungan Perhubungan Pedagangan Pasar Pagi Kota Batu) ini.
Saking mudahnya, kurang dari tiga bulan, Hadi sudah membagikan 9 ribu peralatan yang didatangkan dari Jerman. Saat ini, peralatan tersebut banyak tersebar ke Kecamatan Batu. Untuk kecamatan ini, ada 6 ribu peralatan. Sisanya menyebar di Kecamatan Junrejo dan Bumiaji.
Dalam seminggu, ribuan peralatan yang dibagikan itu bisa menghasilkan sekitar 4 ton tusuk sate. Jika dirupiahkan sekitar Rp 12 juta dengan harga Rp 3 ribu setiap kilogram. Dengan demkian, per bulan ada perputaran uang sebesar Rp 48 juta. "Ini masih permulaan karena sebagian besar perajin lainnya juga masih dalam tahap pembelajaran," kata bapak lima anak ini.
Bagi para perajin, pendapatan yang diperoleh juga tidak sedikit. Perajin yang menghabiskan satu batang bambu akan dapat upah bersih Rp 60 ribu. Rata-rata, dalam seminggu seorang perajin bisa menghabiskan 3 sampi 4 batang pohon bambu. Dengan demikian, penghasilan yang didapatkan berkisar antara 180 ribu sampai 240 ribu per minggu.
Usaha tusuk sate yang digeluti Hadi sebenarnya hanya pengembangan dari usaha yang digeluti sebelumnya. Sebelum mengembangkan tusuk sate di Batu, pria yang menyandang status sarjana ekonomi Universitas Islam Malang (Unisma) itu sudah melakukannya di Tumpang. Di wilayah Tumpang, Hadi sudah memiliki seribu perajin tusuk sate.
Modal yang dikeluarkan Hadi memang juga tidak sedikit. Awal membuka usaha itu, dia menghabiskan dana Rp 100 juta. Tetapi, modal usaha itu bisa segera kembali setelah beberapa kali pengiriman barang.
Meski saat ini sudah banyak yang bergabung dengan usahanya, Hadi masih merasa belum puas. Dia berharap semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan peluang tersebut. Apalagi, pria yang sehari-harinya juga berdagang daging ayam ini mengetahui masih banyak masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Menjadi perajin tusuk sate hanya perlu pernyataan keseriusan. Begitu ada pernyataan keseriusan, tidak berselang lama peralatan pun akan segera dikirim. Tentunya dengan jaminan peralatan tersebut tidak dijual serta hasil pembuatan tusuk sate itu dijual kembali kepada Hadi. "Silakan saja dijual ke orang lain. Tapi, tidak ada jaminan bakal berlangsung lama," ujar ketua P4KB (Perlindungan Perhubungan Pedagangan Pasar Pagi Kota Batu) ini.
Saking mudahnya, kurang dari tiga bulan, Hadi sudah membagikan 9 ribu peralatan yang didatangkan dari Jerman. Saat ini, peralatan tersebut banyak tersebar ke Kecamatan Batu. Untuk kecamatan ini, ada 6 ribu peralatan. Sisanya menyebar di Kecamatan Junrejo dan Bumiaji.
Dalam seminggu, ribuan peralatan yang dibagikan itu bisa menghasilkan sekitar 4 ton tusuk sate. Jika dirupiahkan sekitar Rp 12 juta dengan harga Rp 3 ribu setiap kilogram. Dengan demkian, per bulan ada perputaran uang sebesar Rp 48 juta. "Ini masih permulaan karena sebagian besar perajin lainnya juga masih dalam tahap pembelajaran," kata bapak lima anak ini.
Bagi para perajin, pendapatan yang diperoleh juga tidak sedikit. Perajin yang menghabiskan satu batang bambu akan dapat upah bersih Rp 60 ribu. Rata-rata, dalam seminggu seorang perajin bisa menghabiskan 3 sampi 4 batang pohon bambu. Dengan demikian, penghasilan yang didapatkan berkisar antara 180 ribu sampai 240 ribu per minggu.
Usaha tusuk sate yang digeluti Hadi sebenarnya hanya pengembangan dari usaha yang digeluti sebelumnya. Sebelum mengembangkan tusuk sate di Batu, pria yang menyandang status sarjana ekonomi Universitas Islam Malang (Unisma) itu sudah melakukannya di Tumpang. Di wilayah Tumpang, Hadi sudah memiliki seribu perajin tusuk sate.
Modal yang dikeluarkan Hadi memang juga tidak sedikit. Awal membuka usaha itu, dia menghabiskan dana Rp 100 juta. Tetapi, modal usaha itu bisa segera kembali setelah beberapa kali pengiriman barang.
Meski saat ini sudah banyak yang bergabung dengan usahanya, Hadi masih merasa belum puas. Dia berharap semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan peluang tersebut. Apalagi, pria yang sehari-harinya juga berdagang daging ayam ini mengetahui masih banyak masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Teknologi alat dan mesin pembuatan
tusuk sate memang sudah banyak digunakan. Sementara itu, tidak bagi masyarakat
Desa/Kecamatan Kutawaringin Kab. Bandung, pembuatan tusuk sate tetap dilakukan
dengan cara manual.
Seperti yang dilakukan Diana (25),
warga RT 3 RW 5 Kampung Bojongkoneng, Desa Kutawaringin, yang menggantungkan
hidupnya dari usaha pembuatan tusuk sate.
Sebilah bambu dipotong-potong
berukuran panjang 20 cm. Kemudian dibelah tipis-tipis seukuran tusuk sate yang
biasa kita temui, lalu dibersihkan. "Harus dicuci biar tusuk satenya
bersih," ujar Diana, ditemui di rumahnya.
Ia mulai mengerjakan pembuatan tusuk
sate sejak dua tahun silam. Dalam sehari, ia biasa menghasilkan 500 tusuk sate.
Kemudian tusuk sate itu dijualnya kepada pengumpul. "Saya membeli bambu
dari bandar. Harganya seratus ribu untuk empat ikat, satu ikatnya ada tiga bilah
bambu," ujarnya.
Sebilah bambu yang panjangnya
sekitar 2-3 meter, bisa menghasilkan hingga dua ribu
tusuk sate. "Itu bisa
dikerjakan dalam waktu tiga sampai empat hari, tergantung cuaca. Soalnya,
sebelum dijual kan harus dijemur dulu selama dua hari agar tusuk sate
benar-benar kering," kata Diana.
Untuk membuat tusuk sate, ia harus
memilih bambu minimal berusia enam bulan. Semakin tua umur bambu, jumlah tusuk
sate yang dihasilkan bisa semakin banyak.
"Kalau umur bambunya sudah tua,
daging bambunya tebal, jadi tusuk satenya bisa makin banyak," ujar Diana,
sambil tekun membelah bambu.
Salah seorang pedagang tusuk sate.
Atang (45) mengatakan, Desa Kutawaringin memiliki potensi besar untuk
menghasilkan tusuk sate. "Dalam sehari, saya bisa mengumpulkan 3.000 tusuk
sate hanya dari Desa Kutawaringin," ujar Atang, sambil menyebutkan
beberapa kampung yang merupakan sentra pembuatan tusuk sate di Desa
Kutawaringin. Kampung tersebut misalnya Ciherang, Pasirkeas, Bojongkoneng, dan
Cigondok.
Selain dijual di Pasaranyar Kec.
Kutawaringin, Atang mengaku, biasa menjual tusuk sate tersebut ke Pasar Sayati
dan Pasar Caringin.
"Permintaan selalu ada, soalnya
kan hampir semua orang suka makan sate. Tapi kemampuan warga hanya segini, jadi
ya saya hanya bisa menjual segitu," kata Atang.
Untuk itu, Diana berharap agar warga
bisa mendapatkan bantuan modal sehingga mampu mengembangkan usaha kecil seperti
yang dilakukannya. "Modal tidak ada. Tusuk sate yang saya buat pun hanya
mendatangkan keuntungan sekitar seratus sampai dua ratus ribu rupiah sebulan,
mana bisa untuk mengembangkan usaha," kata Diana. (fn/jp/bv)
www.suaramedia.com
www.suaramedia.com
Posting Komentar untuk "Tusuk Sate : Berawal dari Home Industri"
Posting Komentar
Komunikasi dengan kami via e-mail : ibadabdurrahman19@gmail.com | WA +6287738862181 | +6281393993163. Mohon maaf kami tidak menanggapi kontak yang tidak jelas. Tks